“Saya terpikir cara yang cukup sederhana namun bermakna dan bisa berdampak baik dalam strategi implementasi dan komunikasi untuk IKM.

Cara ini bisa menjadi menu utama yg wajib dipahami dan dilakukan semua sekolah yg menerapkan IKM dan juga pemerintah daerahnya. Selain itu, dg cara ini, kita mengembalikan fokus utama para pendidik dan sekolah kepada “murid” — bukan hanya ke kurikulumnya. Karena saya juga khawatir, sekolah2 langsung saja melaksanakan kurikulum, misalnya menerapkan ide2 canggih dalam Kurikulum Merdeka seperti project-based learning, dll — tapi lupa pada filosofi dan esensi yg utama yang harus diutamakan dahulu, yaitu “murid.”

”We start from the students, not the curriculum.”

Dua menu utama tsb adalah:
1. Asesmen Diagnostik
2. Pembelajaran Berdiferensiasi

Kita harus “over-communicate” tentang dua hal ini dalam campaign kita untuk cara pelaksanaan IKM.

Jadi dalam campaign kita untuk strategi pelaksanaan IKM, kita mengkomunikasikan bahwa sangat penting bagi sekolah pelaksana IKM memahami dan melaksanakan Asesmen Diagnostik di awal tahun ajaran.

Pada sosialisasi kepada Pemda, pelatihan-pelatihan IKM, webinar2, dll — kita dorong topik-topik seperti:

Apa itu Asesmen Diagnostik? Bagaimana cara melaksanakannya? Bagaimana cara memaknai hasil Asesmen Diagnostik? Bagaimana menyusun strategi Pembelajaran Berdiferensiasi dalam follow-up hasil Asesmen Diagnostik? Bagaimana menggunakan data hasil Asesmen Diagnostik sebagai upaya continuous improvement?

Kita bisa fokuskan diskusi-diskusi tentang dua topik ini di berbagai forum per jenjang dan per mapel untuk TK-B, kelas 1, kelas 4, kelas 7 dan kelas 10.

Saya terbayang sekolah-sekolah pelaksana IKM melakukan ini di awal tahun ajaran. Lalu Komunitas Belajarnya bisa memiliki sebuah referensi utama dalam diskusinya — yaitu hasil Asesmen Diagnostik.

Komunitas Belajar di dalam Satuan Pendidikan dapat memiliki struktur pertemuan minimal 1x seminggu, atau 2x seminggu.

Dalam pertemuan-pertemuan ini mereka merencanakan Asesmen Diagnostik, membahas hasil Asesmen Disgnostik, menyusun strategi pembelajaran berdiferensiasi bersama-sama, membahas hasil pembelajaran berdiferensiasi, melakukan asesmen format untuk melihat apa ada progress, membahas hasil progress tersebut, menyusun rencana pembelajaran berdiferensiasi lanjutan, dan seterusnya.

Kepala Sekolah bisa hadir di setiap pertemuan setiap minggu, atau bisa hadir setiap dua minggu untuk memantau perkembangan dampak kepada murid dari waktu ke waktu.

Percakapan dalam Komunitas Belajar terutama di dalam sekolah pun menjadi bermakna, fokus, terstruktur dan sistematis. Karena dg Asesmen Diagnostik dan Pembelajaran Berdiferensiasi — fokusnya menjadi kepada kondisi masing-masing murid dan bagaimana membantu masing-masing murid untuk belajar lebih baik. Karena dengan membahas apa ada perubahan dan peningkatan dari hasil Asesmen Diagnostik sepanjang semester dan sepanjang tahun ajaran, maka diskusi dalam Komunitas Belajar di sekolah memiliki struktur yg jelas dan menjadi sistematis pembahasannya dari waktu ke waktu.

Dan cara kita mengkomunikasikan IKM pun menjadi lebih sederhana tapi tetap bermakna dan bisa memberi dampak kepada murid.

Sehingga — semua diskusi berpusat kepada “murid.” Bukankah ini tujuan utama dari Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar?

Kita pun sekalian menindaklanjuti berbagai rekomendasi dalam “learning recovery post Covid-19” yaitu melakukan Asesmen Diagnostik dan Pembelajaran Berdiferensiasi, karena dampak pandemi thp murid berbeda-beda. Sehingga dalam mengatasi learning loss yg semakin parah, kita perlu memahami kondisi masing2 murid yg terdampak pandemi, dan menyusun strategi pembelajaran sesuai kondisi setiap murid tsb.

IKM pun menjadi relevan dan mengembalikan semangat utama ttg kenapa ada Kurikulum Merdeka, yaitu sebagai strategi Indonesia dalam mengatasi learning loss.”

Iwan Syahril- Dirjen GTK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights